Minggu, 28 November 2010

Pelapisan Sosial, Persamaan Derajat, Diskriminasi dan pemerataan Sosial


BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
‘’ Inna kholaknakum min dzkarin wa unsa wa jaalnakum suuban wa qobaila litaarofu’’
Pada dasarnya manusia dilahirkan dengan potensi yang sama sebab manusia merupakan satu keluarga dari rahim seorang Hawa dengan bapak tunggal Adam As, namun seiring dengan banyaknya kepentingan, maksud dan tujuan yang berbeda, lazimlah bila dikemudian hari tibullah rasisme yang muncul karena perbedaan-perbedaan.
            Islam datang sebagai pencerah, maka dari itu agama yang pernah menjadi agama terbesar di dunia ini memberikan wacana yang kamil terkait pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemerataan social sebab kita sebagai anak cucu adam seperti yang disebutkan Rasulullah adalah saudara, maka hiasilah tali persaudaraan tanpa memandang status social, ras, suku, agama maupum perbedaan lainnya dengan sabdanya “Innamal mu`minuna ikhwatun, fa ashlihu baina akhawaikum”
            Namun, akhir-akhir ini sering timbul pertikaian karena perbedaan-perbidaan kecil yang dianggap agung ini. Maka kami sebagai mahasiswa memiliki bentuk kepedulian untuk memberantas kebatilan ini minimal dengan menyusun paper yang berkaitan dengan perbedaan-perbedaan mendasar pada sisi kemanusian namun selalu dikobar-kobarkan

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah ini maka kami menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan  pemerataan social ?
2.      Apa saja factor-faktor yang menyebabkan adanya pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemerataan social ?
3.      Bagaimana cara penyelesaian problema pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemerataan social ?


BAB II
Pembahasan[1]

A.     Pengertian Pelapisan Social, Persamaan Derajat, Diskriminasi Dan Pemerataan Social

1. Pelapisan Sosial
Istilah stratifikasi berasal dari akar kata strata atau stratum yang berarti lapisan. oleh karena social stratification sering diterjemahkan sebagai pelapisan masyarakat. Pitrim A. sorokin memberikan  definisi pelapisan adalah perbedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarchis). Seperti : kelas atas, tengah dan bawah[2].

2. Persamaan derajat.
Persamaan drajat berdasarkan pasal 1 UUD 1945 yang berbunyi: sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Meraka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lainnya dalam persaudaraan[3].

3. Diskriminasi
                     Diskriminasi adalah perlakuan yagn sifatnya membeda-bedakan antara sesame warga Negara karena pengaruh keturunan, suku, warna kulit dan agama[4].

4. Pemerataan social
Pemerataan social merupakaan sebuah proses dalam mencapai kesejahteraan masyarakat  baik hak dan kewajibannya seperti hadis Rasulullah bahwa sesungguhnya seorang muslim adalah saudara seperti halnya sebuah bangunan yag saling mengokohkan antara satu dengan yang lainnya.



B.     Faktor-faktor Pelapisan Social, Persamaan Derajat, Diskriminasi Dan Pemerataan Social
      Ada beberapa factor yang melatar belakangi terjadinya pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemeratan social diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Faktor kekayaan
            factor ini dapat di jadikan sebagai ukuran yang orientasinya kepada harta benda yang dimiliki oleh sekelompok orang, barang siapa yang mempunyai kekayaan paling banyak. Maka, dia akan berada pada kelas teratas seperti contoh mobil pribadi, cara bagaimana menggunakan pakaian dan kebiasaa berbelanja barang mahal.

2. Faktor kekuasaaan
            barang siapa yang mempunyai kekuasaan atau wewenang dalam masyarakat maka dialah termasuk pada kelas teratas

3. Faktor  kehormatan
Ini adalah salah satu yang menyebabkan terjadinya pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan  pemerataan social mereka yang paling disegani  dan di hormati maka dia akan mendapatkan penghormatan sekaligus akan menduduki kelas social teratas hal seperti ini seringkali kita jumpai di kalangan masyarakat tradisional.

4. Faktor Ilmu pengetahuan
Dalam  hal ini pengetahuan menjadi ukuran utama sebagai timbagan di kalangan kalangan masyarakat yang kadang kala ukuran ini menyebabkan sisi negatif karena di sisi lain terkadang bukan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh akan tetapi hanya gelas serjana yang belum tentu di dukung denga performanya di masyarakat[5].
            Dari uraian tersebut maka lahirlah yang namanya kelas teratas (uuper class) dan kelas bawah (lower class), masyarakat yang tediri dari tiga kelas yaitu kelas atas (uuper class), kelas menengah (middle class), dan kelas bawah (lower class)


  1. Cara Penyelesaian Problema Pelapisan Social, Persamaan Derajat, Diskriminasi Dan Pemerataan Social

Kita sebagai umat Islam pastinya mengenal Alqur’an dan Alhadis keduanya hadir sebagai petunjuk bagi orang-orang yang beriman begitu pula dalam mengatasi problema pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemerataan social yang selalu menjadi momok dan gejala sosial di dalam masyarakat manapun termasuk Indonesia.
Alquran hadir unutk menyelsaiakn semua permasalahan, ada taiga unsur kata kunci di dalam alqur’an[6]

1.Al Ummah Al wahidah
Poin ini bermakna sebagai masyarakat yang bersatu, artinya tida ada pembatas antara satu golongan dengan golongan yang lainnya sebab pada dasarnya persatuan memiliki tafsiran tujuan visi dan misi yang sama yaitu membangun peradaban yang lebih baik.
Jadi Islam tidak pernah memandang golongan atau person karena strata social mereka, bukan seperti kebudayaan India yang mengenal Kasta seperti Kasta Brahmana, Kasta ksatria, Kasta waisya, Kasta Sudra, dan Kasta Paria[7] serta menghapus tradisi jahiliyah seperti perbudakan

2.Al Ummah Al washatan
Arti poin ini adalah memupuk rasa nasionalisme dalam sanubari masyarakat, Rasulullah pernah menerapkan system ini ketika menjadikan Madinah sebagai pusat peradaban di dunia, padahal penduduk Madinah tidak hanya terdiri dari ummat islam namun ada juga masyarakat minoritas yang memeluk kepercayaan Majusi, Yahudi dan Nasrani, akan tetapi perbedaan ini tidak menjadi batu kerikil keberhasilan Nabi Muhammad malah menjadi kekuatan baru yang kokoh karena rasa nasionalisme


Karena hal inilah kemudian lahir piagam Madinah yang berisi seruan hidup nyaman tanpa pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemerataan social. Nah, karena hal inilah maka kemudian lahir istilah masyarakat madani (nisbat pada kota Madinah) atau yang lebih masyhur dengan cvil society. jadi bisa di maklumi bahwa presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno mengadopsi dan pernah menerapkan hal ini dengan di gagasnya piagam Jakarta tapi karena tidak jelasnya para pemimmpin penerusnya maka substansi piagam Jakarta hanya tinggal kenangan saja

3.Khairu ummah
Poin ini berarti masyarakat yang unggul, maka tiada cara untuk mencapainya kecuali dengan melakukan dua poin sebelumnya sebab sebenarnya khairu ummah merupakan hasil akhir darinya
Khairu Ummah bisa pula disebut cita-cita luhur dari adanya persatuan dan nasionalisme karena tidak akan tercipta sebuah nikmatul ummah (keberhasilan masyarakat) tanpa adanya nahdlatul ummat (kebangkitan masyarakat) dan nahdlatul ulama (kebangkitan kaum intelektual) yang hanya bisa diwujudkan dengan persatuan dan animo nasionalisme yang tinggi[8]


BAB III
Kesimpulan

            Untuk menarik kesimpulan tentang pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemerataan social maka kita harus memahami teori khuldisme yang merujuk pada kepemilikan buah khuldi pada setiap insan karena merupakan warisan tunggal kakek Adam dan nenek Hawa, walaupun ada perbedaan ras, suku, agama dan warna kulit
            Factor  lahirnya pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemerataan social  jelas disebabkan karena kekayaan, kekuasaan, kedudukan, kehormatan dan ilmu pengetahuan yang akhir-akhir ini sering di agungkan padahal tuhan tidak pernah menilai semua ini karena penilaianNya hanya terpatri pada ketakwaan seseorang
            Persatuan, kebangkitan dan tingginya rasa nasionalisme dalam segala hal bisa meruntuhkan imperium pelapisan social, persamaan derajat, diskriminasi dan pemerataan social


[1] Paper ini bisa diunduh pada catatan dunia maya penyusu : www.em-edisugianto.blogspot.com
[2] Abu ahmadi, ilmu sosial dasar,(Jakarta: Rineka cipta,1991) hal 197
[3] Mawardi, IAD-ISD-IBD,(Bandung: Pustaka setia, 2007) 249
[4] Kamisa, Kamus lengkap Bahasa Indonesia,(Surabaya: Kartika, 1997) 143
[5] Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar,(Jakarta:Rineka cipta,1991) 205
[6] M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani ; Agama, Kelas Menengah Dan Perubahan Social, (Jakarta:LP3S, 1999) 82
[7] Ibid 201
[8] Abdullah Hanani, Menciptakan Nimatul Ummat Dengan Nahdlatul Ummat Dan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Mediasi HMI Adab IAIN,2010) 3

EKSISTENSI PENDIDIKAN DI PONDOK PESANTREN

1. Pendahuluan

Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga tertua di Indonesia yang sampai saat ini masih eksis dan subur melahirkan alumni-alumni (output) yang profesional dalam bidangnya masing-masing, sebut saja almarhum K.H Hasyim Asy`ari selaku pendiri Nahdlatul `Ulama, K.H Abdurrahman Wahid yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia dan Drs. Syaifullah Yusuf yang saat ini menjabat sebagai wakil gubernur Jawa Timur. Beliau bertiga adalah contoh kecil yang nyata dari golongan kaum bersarung yang mampu menjadi agent of change sekaligus aset bangsa.
Dari gambaran ini, tidak bisa kita pungkiri bahwa eksistensi pesantren dalam mencerdaskan anak bangsa sangat tinggi. Walaupun, dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana. Terbukti dalam lembaga ini anak didik tidak hanya diajari hal-hal yang bersifat duniawi saja tetapi juga hal-hal yang bersifat ukhrawi.
Pesantren memiliki peran dan jasa yang sangat besar dalam pembangunan nasional dengan berbagai macam cara seperti mengusir penjajah hingga terciptanya kemerdekaan. Jadi, sungguh irois sekali bila pemerintah akhir-akhir ini sering memandang pesantren dengan sebelah mata terlebih dalam hal pendidikan dan menilai sebagai sarang teroris. Hal ini merupakan kesalahan besar karena pendidikan di pesantren tidak pernah mengajarkan kekerasan seperti yang telah ditudingkan tersebut.
Sejatinya, kurikulum pada mayoritas pesantren adalah al-muhafadzatu `ala qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah atau yang lebih populer dengan arti melestarikan tradisi-tradisi salaf dan menambahkan nilai-nilai modern pada sisi kehidupan.

SELAYANG PANDANG PONDOK PESANTREN

A. Pengertian Pondok Pesantren
Kata pondok berasal dari istilah Bahasa Arab funduq yang artinya adalah penginapan bagi musafir atau pesangrahan, sedangkan pesantren memiliki akar kata santri dengan menggunakan awalan pe dan akhiran an yang menurut sejarahnya berasal dari Bahasa Tamil yang berarti guru ngaji. Jadi makna sempurna pondok pesantren adalah tempat yang memiliki sarana untuk belajar mengaji dan belajar ilmu agama.
Pasca kemerdekaan, pesantren tidak hanya memberikan materi ilmu agama saja karena para asatidz ingin menanamkan rasa nasionalisme pada para santri sehingga materi-materi kebangsaan juga dimasukkan pada kurikulum kegiatan belajar mengajar sehingga dikemudian hari lahirlah para intelektual, politisi dan pegawai negeri yang merupakan jebolan pondok pesantren.

B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren
Dalam catatan sejarah, Islam masuk ke Indonesia dipelopori oleh para pedagang Gujarat yang kurang lebih berlangsung pada abad 13 dan menyebar luas ke seluruh pelosok negeri pada abad 15 namun dianggap mulai dikenal sejak para pedagang Arab berkelana di Nusantara pada abad 8 melalui Ibnu Bathutah.
Bermula dari fase pedagang inilah kemudian para pelajar yang dididik oleh ibn sabil lahirlah pondok pesantren hingga masyhur dan berkembang pesat pada abad 18 seperti pesantren Bangkalan yang diasuh oleh Syaikhana Muhammad Kholil Al-Maduri, pesantren Sidogiri yang didirikan oleh Sayyid Sulaiman, pesantren Banyuanyar dengan figure K.H Itsbat bin Ishaq dan pesantren Tebuireng dengan perintisnya K.H Hasyim Asy`ari.
Metode yang digunakan sebagai sarana belajar mengajar adalah system halaqah yang merupakan adopsi dari para ulama Indonesia yang belajar di Timur Tengah, akan tetapi beberapa tahun kemudian system fashl lebih berkembang karena perannya dianggap lebih dominan bila diterapkan di Indonesia.

C. Tipologi Pondok Pesantren
Pada awalnya, semua pesantren di Indonesia menerapkan pola yang sama yakni menganut ittiba` li as-salafu al-shalih yang lebih menekankan kajian keagamaan seperti ilmu alat (Nahwu dan Sharf), ilmu fiqh, ilmu tauhid serta yang pasti Al-quran dan Hadis sebagai ideology utama pesantren. Maka pelajaran-pelajaran ini sudah jelas tidak dapat dihapus dari nilai belajar santri karena merupakan warisan yang bersifat turun-temurun sesuai dengan hadis man yuridillahi khairan yufaqqihu fi al-dien yang artinya adalah barang siapa dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan diberi pemahaman dalam urusan agama (H.R Bukhari Muslim).
Roda perputaran zaman menuntut pesantren mengembangkan cara belajar mengajarnya, sehingga pada awal abad ke 20 tipologi pondok pesantren terbagi menjadi dua macam. Yaitu :
1. Pesantren salaf
Tipologi pesantren mempunyai karakter keagamaan yang kuat dengan memilih kitab-kitab kuning sebagai bahan kajiannya. Pesantren model ini melaksanakan proses pembelajaran di masjid dan madrasah yang berorientasi kepada kiai dan asatidz sebagai pembaca dan memberikan makna serta meberikan pemahaman tentang isi kitab sedangkan santri berperan sebagai pendengar
Pesantren model ini mempunyai karakter al muhafadatu al qodimis al sholeh dalam artian menjaga setiap tradisi yang kuno karena hal tersebut sudah dicerminkan oleh para pendahulunya.

2. Pesantren semi modern
al-muhafadzatu `ala qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah atau yang lebih populer dengan arti melestarikan tradisi-tradisi salaf dan menambahkan nilai-nilai modern pada sisi kehidupan.
Tipe pesantren ini mulai berkembang pada abad 20 terutama sejak transisi dari orde lama ke orde baru ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul menanjak, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulumpun menjadi berfariasi. Seperti misal kurikulum Depdiknas yang sudah eksis di pesantren model ini dengan rasio 70 persen mata pelajaran sekuler dan 30 persen mata pelajaran agama. Sekolah Islam yang melaksakan kurikulum ini disebut Madrasah. Perbedaanya pesantren dan madrasah adalah pesantren berupa asaram sebagai tempat tinggal santri sedangkan madrasah adalah sekolah Islam yang diikuti murid pada siang hari dan kuriulumnya ditentukan oleh Depdiknas.
Ada hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistim pendidikannya mengikuti jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Oleh karena itu, perguruan tinggi yang ada pada saat ini tidak akan berupa IAIN, ITB, UI, UGM, UNAIR ataupun lainnya. Tetapi, mungkin namanya menjadi universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan dan lainnya.
Begitu pula beberapa pesantren di wilayah Madura seperti pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Bata-Bata dan pesantren Al Amin Prenduan Sumenep. Tiga pesantren ini selalu menjadi kiblat pendidikan agama di seluruh pesantren wilayah Madura karena manpu memberikan sumbangsih besar terhadap pemerintah setempat bahkan pemerintah pusat di dalam hal pendidikan terbukti para santri yang lulus sekolah menengah dari pesantren ini dikirim ke berbagai kota di Indonesia sebagi guru bantu dengan tujuan mengamalkan ilmu yang sudah didapat dan berbakti terhadap Agama, Nusa dan bangsa.

2. Penutup
Pesantren merupakan salah satu asset Negara yang selama ini ternyata banyak memberikan kontribusi besar dalam mencerdaskan aanak bengasa sekaligus membangun bangsa tidak hanya dari keilmuan saja tetapi juga secara moral. Dalam hal ini lahirnya beberapa tokoh nasional yang mampu memimpin negeri ini seperti agn sudah disebutkan diawal.

Hal seperti ini sudah tertuang dalam bait lagu kebangsaan yang berbunyi ‘’ bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia raya’’ .dal hal ini pesantren sangat berperan penuh dalm membentuk mental santri baik dari keintelektualan, emosional dan spritualannya, sehingga bias di kataka memang pesantrenlah yang sebenarnya telah berhsil mengamalkan isi dari lagu kebangsaan tersebut dalam realita kehidupan berbangsa and bernegara.